Dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, kurikulum selalu mengalami perubahan seiring dengan pergantian kepemimpinan dan arah kebijakan nasional. Di era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, lahirlah Kurikulum Merdeka, yang membawa konsep fleksibilitas dalam pembelajaran.
Salah satu elemen utamanya adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang menekankan pada pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik sesuai nilai-nilai Pancasila.
Namun, belum lama ini, di bawah kepemimpinan Menteri Abdul Mu'ti, muncul istilah baru dalam kurikulum, yaitu P7. Konsep ini masih dalam tahap awal penerapan dan diharapkan dapat melanjutkan upaya penguatan karakter peserta didik.
Namun, jauh sebelum munculnya P5 dan P7, pada era Orde Baru, pendidikan Indonesia memiliki Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Program ini hadir di masa kepemimpinan Presiden Soeharto dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan serta kehidupan berbangsa dan bernegara saat itu.
Masa P4: Ketika Semua Warga Negara Harus Menjiwai Pancasila
Bagi mereka yang mengalami masa Orde Baru, P4 bukan sekadar materi pelajaran di sekolah, ia adalah bagian dari kehidupan. Setiap siswa, mahasiswa, pegawai negeri, hingga masyarakat umum harus mengikuti penataran P4.
Ada buku panduan tebal yang harus dipelajari, dengan prinsip-prinsip seperti Musyawarah untuk Mufakat, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang selalu ditekankan.
![]() |
Penataran P4. |
Di sekolah, tak hanya menghafalkan isi Pancasila, tetapi juga diuji pemahamannya dalam berbagai diskusi dan ujian tertulis.
Beberapa masyarakat bahkan mengikuti penataran resmi, yang berlangsung selama beberapa hari, dipandu oleh para pembina yang dengan penuh wibawa menjelaskan bagaimana Pancasila harus menjadi pedoman hidup.
Saat itu, rasa nasionalisme benar-benar dibentuk melalui program ini. Setiap pidato resmi pejabat pemerintah tak pernah lepas dari penyebutan P4 sebagai dasar kehidupan bernegara. Kami terbiasa dengan istilah "Pancasila sebagai satu-satunya asas", yang mengikat semua organisasi sosial dan politik di Indonesia.
Namun, di balik penataran ini, ada juga suasana yang tidak bisa dilupakan. Bagi sebagian orang, mengikuti P4 terasa seperti kewajiban yang harus ditaati tanpa banyak bertanya. Ada rasa segan, bahkan takut, jika dianggap tidak memahami atau tidak setuju dengan prinsip-prinsip yang diajarkan.
Kini, ketika melihat bagaimana pendidikan karakter berkembang dengan P5 dan P7, terasa ada perbedaan yang cukup mencolok. Jika dulu P4 bersifat instruktif dan top-down, P5 dan P7 lebih menekankan eksplorasi dan refleksi dari peserta didik sendiri.
Namun, satu hal yang tetap sama: Pancasila tetap menjadi ruh dalam pendidikan Indonesia, dari masa ke masa.