Richard the Lionheart: Raja Inggris yang Gugur di Tangan Juru Masak

Richard the Lionheart meninggal bukan di tangan musuh besar seperti Saladin, melainkan oleh seorang juru masak.
Penulis: - 10 Maret 2025
Richard the Lionheart: Raja Inggris yang Gugur di Tangan Juru Masak

Di antara sekian banyak raja yang pernah memerintah Inggris, hanya sedikit yang namanya bergema dalam sejarah layaknya Richard I, yang lebih dikenal sebagai Richard the Lionheart, Richard Si Hati Singa. Ia adalah raja yang gagah berani, pemimpin perang yang tak gentar menghadapi bahaya, dan seorang prajurit sejati yang mengukir namanya dalam darah dan kehormatan di medan tempur.

Namun, ironisnya, bukan di tangan musuh besar seperti Saladin ia menemui ajalnya, melainkan oleh seorang juru masak yang melepaskan anak panah dari atas benteng sebuah kastil kecil di Prancis. Ini adalah kisah tentang kejayaan dan tragedi seorang raja perang yang akhirnya harus menyerah pada takdirnya.

Sang Raja Pejuang yang Dihormati dan Ditakuti

Richard lahir pada 8 September 1157 di Istana Beaumont, Oxford, sebagai putra Raja Henry II dan Eleanor dari Aquitaine. Sejak muda, darah kepemimpinan dan keberanian sudah mengalir deras dalam dirinya. Ia tumbuh menjadi seorang kesatria sejati, seorang pemimpin yang lebih mencintai medan perang daripada istana, lebih tertarik pada gemuruh peperangan dibandingkan urusan pemerintahan.

Pada tahun 1189, setelah kematian ayahnya, Richard naik takhta sebagai Raja Inggris. Namun, tak seperti raja pada umumnya yang mengurus pemerintahan dari balik dinding istana, Richard hampir sepanjang masa pemerintahannya dihabiskan di medan perang, terutama dalam Perang Salib Ketiga.

Di Timur Tengah, Richard berhadapan dengan salah satu pemimpin Muslim paling hebat sepanjang sejarah: Salahuddin Al Ayyubi. Pertempuran mereka bukan sekadar perang antara dua bangsa, melainkan duel antara dua ksatria besar yang saling menghormati sebagai lawan. Richard terkenal dengan keberaniannya yang luar biasa, memimpin langsung pasukannya dalam pertempuran, dan menunjukkan strategi militer yang brilian.

Namun, meski berhasil merebut kembali beberapa kota penting, termasuk kemenangan gemilang di Pertempuran Arsuf (1191), Richard gagal mencapai tujuan utama Perang Salib, yaitu merebut Yerusalem. Akhirnya, setelah perundingan panjang, ia dan Salahuddin mencapai kesepakatan damai.

Kembali ke Barat: Dari Seorang Pejuang Menjadi Tawanan

Sepulangnya dari Tanah Suci, Richard menghadapi nasib yang lebih berbahaya daripada di medan perang. Saat melintasi Eropa, ia ditangkap oleh Leopold V dari Austria, yang dendam padanya karena penghinaan di Perang Salib. Raja Inggris yang ditakuti di medan laga kini menjadi tawanan.

Richard kemudian dijual kepada Kaisar Romawi Suci, Henry VI, yang menuntut tebusan besar untuk pembebasannya. Inggris pun terpaksa mengumpulkan uang dalam jumlah luar biasa untuk menebus rajanya. Setelah dua tahun dalam tahanan, Richard akhirnya dibebaskan dan kembali ke negerinya.

Raja Inggris Richard the Lionheart.

Pengepungan Kastil Chalus dan Panah yang Mengakhiri Singa

Meski sudah kembali ke Eropa, Richard tidak bisa hidup dalam kedamaian. Ia segera kembali berperang, kali ini di Prancis, melawan Raja Philip II dari Prancis.

Pada tahun 1199, dalam perjalanannya menaklukkan beberapa wilayah, Richard tiba di Kastil Chalus-Chabrol, sebuah benteng kecil di wilayah Aquitaine yang memberontak terhadap kekuasaannya. Sang raja, seperti biasanya, tak mau hanya duduk di belakang garis depan, ia memimpin langsung pengepungan kastil dengan gagah berani.

Namun, di tengah-tengah pertempuran, sebuah anak panah dilepaskan dari benteng. Panah itu tidak berasal dari seorang ksatria atau prajurit berpengalaman, melainkan dari seorang juru masak yang bernama Pierre Basile.

Entah karena nasib buruk atau karena keajaiban bagi si penembak, panah itu melesat tepat ke bahu Richard. Luka itu tampaknya tidak fatal, dan sang raja bahkan berhasil mencabut anak panah tersebut sendiri. Namun, seperti halnya banyak luka di masa itu, infeksi menjadi musuh yang lebih mengerikan daripada senjata musuh.

Dalam beberapa hari, luka tersebut membusuk. Demam tinggi mengguncang tubuh sang raja singa. Ia yang dulu tak terkalahkan di medan perang, kini tak berdaya melawan penyakit yang merambat dalam tubuhnya.

Dalam keadaan sekarat, Richard melakukan tindakan yang mengejutkan semua orang: ia memanggil Pierre Basile, sang juru masak yang menembaknya, dan mengampuninya. Meskipun demikian, setelah Richard meninggal pada 6 April 1199, para pengikut setianya tetap menghukum mati Pierre secara brutal.

Akhir dari Sang Singa, Awal dari Legenda

Richard the Lionheart dimakamkan di Biara Fontevraud, Prancis, bersama ayahnya, Henry II, dan ibunya, Eleanor dari Aquitaine. Ia dikenang bukan sebagai raja yang mengatur negeri, tetapi sebagai pejuang yang selalu mencari kemuliaan di medan tempur.

Kematiannya yang ironis, gugur bukan di tangan raja besar, bukan dalam pertempuran yang dahsyat, tetapi oleh panah seorang juru masak, menambah lapisan dramatis dalam kisahnya. Richard bukanlah raja yang damai, tetapi ia adalah seorang singa yang bertempur hingga napas terakhirnya.

Sejarah tidak pernah melupakan nama Richard the Lionheart. Namanya masih dikenang sebagai salah satu raja terhebat dalam sejarah Inggris, raja yang berperang, bertempur, dan akhirnya gugur di tengah pertempuran.