Penyebab Perang Dunia II Karena Seseorang Ditolak Kelas Seni?

Bagaimana bisa hanya karena gara-gara seseorang ditolak kelas seni menyebabkan terjadinya Perang Dunia II.
Penulis: - 28 Februari 2025
Penyebab Perang Dunia II Karena Seseorang Ditolak Kelas Seni?

Di Wina, Austria, pada tahun 1907, seorang pemuda berusia 18 tahun berjalan dengan penuh semangat menuju Akademi Seni Rupa Wina.

Tangannya menggenggam erat portofolio yang berisi sketsa dan lukisan terbaik yang pernah ia buat. Hari itu adalah harinya, hari di mana ia akan mengubah takdirnya, hari di mana ia akan menjadi seorang seniman.

Awal Mimpi yang Hancur

Namanya Adolf Hitler.

Sejak kecil, ia mencintai seni. Ibunya, yang selalu percaya padanya, berkata bahwa ia akan menjadi pelukis hebat. Ia membayangkan dirinya tinggal di Wina, menghabiskan hari-harinya di studio, menciptakan mahakarya yang akan dikenang sepanjang masa. Dunia seni adalah satu-satunya dunia yang ia inginkan.

Namun, saat ia duduk di ruang wawancara, kepala akademi menggelengkan kepala. Karyanya dinilai tidak cukup baik. Ia ditolak.

Hatinya hancur. Mimpinya hancur.

Namun, Hitler tidak menyerah begitu saja. Tahun berikutnya, 1908, ia mencoba lagi. Kali ini, ia lebih percaya diri, lebih siap. Namun, jawaban yang ia terima sama saja: penolakan.

Di usia 19 tahun, ia mendapati dirinya tanpa rumah, tanpa tujuan, tanpa harapan.

Ia menghabiskan hari-harinya di jalanan Wina, menjual lukisan kecil untuk bertahan hidup. Musim dingin yang kejam membuatnya tidur di bangku taman atau di tempat penampungan tunawisma. Di tempat-tempat inilah ia mulai membenci dunia.

Di antara dinginnya malam dan rasa lapar yang terus menghantuinya, sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Ia tidak lagi bermimpi menjadi seniman. Ia mulai mencari musuh. Dan ia menemukannya.

Efek Domino Menuju Kegelapan

Hitler mulai menyalahkan kaum Yahudi, kaum intelektual, dan sistem yang menurutnya tidak adil. Pandangan dunia yang ia bentuk di jalanan Wina akan mengarahkannya ke jalur yang mengerikan.

Ketika Perang Dunia I pecah pada tahun 1914, ia bergabung dengan tentara Jerman. Perang memberinya tujuan baru. Ketika Jerman kalah pada tahun 1918, ia merasa dikhianati oleh para pemimpin negaranya. Ia menyalahkan Perjanjian Versailles, ia menyalahkan dunia.

Dan di sinilah perjalanan gelapnya benar-benar dimulai.

Hitler bergabung dengan Partai Buruh Jerman yang kecil, yang kemudian ia ubah menjadi Partai Nazi. Dalam waktu kurang dari dua dekade, ia menjadi pemimpin absolut Jerman.

Tahun 1939, ia memicu Perang Dunia II dengan menginvasi Polandia.

Dalam enam tahun berikutnya, lebih dari 50 juta orang tewas. Kota-kota hancur, keluarga terpisah, dan dunia tenggelam dalam kengerian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Holocaust terjadi. Enam juta orang Yahudi dibantai.

Eropa berlumuran darah. Jepang, Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, semua terseret dalam pusaran kehancuran yang berawal dari satu orang: seorang pemuda yang gagal masuk sekolah seni.

Adolf Hitler (duduk paling kanan) pada masa Perang Dunia I.

Butterfly Effect

Bagaimana jika Akademi Seni Rupa Wina menerimanya?

Bagaimana jika para pengajar memberinya kesempatan? Jika ia menjadi pelukis, mungkin ia tidak akan pernah terjun ke dunia politik.

Mungkin tidak akan ada Nazi.

Mungkin tidak akan ada Holocaust.

Mungkin tidak akan ada Perang Dunia II.

Tetapi sejarah tidak mengenal kata "mungkin".

Sejarah hanyalah rantai peristiwa yang saling terkait. Seperti kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya, penolakan kecil terhadap seorang seniman di tahun 1907 telah berubah menjadi badai paling mematikan dalam sejarah umat manusia.

Sejarah Ditentukan oleh Hal-hal Kecil

Seorang profesor seni di Wina, yang mungkin hanya menganggap dirinya sebagai penilai biasa, tanpa sadar telah mengubah arah dunia.

Sebuah keputusan sederhana, satu kata "tidak", telah merenggut puluhan juta nyawa.

Sejarah, ternyata, bukan hanya tentang para raja dan jenderal. Sejarah juga tentang momen-momen kecil yang tampaknya sepele, tetapi mengguncang dunia di kemudian hari.

Kita tidak pernah tahu keputusan kecil apa yang kita buat hari ini yang mungkin akan mengubah nasib generasi mendatang.