Dalam riwayat panjang Perang Salib, ada satu episode yang begitu memilukan hingga sejarah nyaris menelannya dalam keraguan dan ketidakpastian: Perang Salib Anak-Anak tahun 1212.
Ini bukan perang dalam arti pertempuran berdarah di medan perang, tetapi kisah mengerikan tentang ribuan anak yang tersesat dalam kebingungan iman, ditipu, diperbudak, dan hilang tanpa jejak.
Awal Mula: Iman yang Naif, Harapan yang Palsu
Legenda ini bermula dari dua tokoh utama: Stephen dari Cloyes di Prancis dan Nicholas dari Köln di Jerman. Mereka adalah anak-anak biasa yang mengklaim mendapat wahyu dari Tuhan untuk merebut Yerusalem tidak dengan pedang, tetapi dengan kemurnian dan ketulusan hati.
Di tengah kegagalan Perang Salib sebelumnya, suara mereka menemukan gema di hati ribuan anak, remaja, bahkan orang miskin dan petani yang putus asa. Mereka percaya bahwa Laut Tengah akan terbelah seperti Laut Merah bagi Musa, dan mereka akan berjalan ke Tanah Suci tanpa hambatan.
Dengan semangat yang membara dan mata yang dipenuhi harapan, mereka berbaris meninggalkan rumah, mengucapkan selamat tinggal pada orang tua yang tak kuasa menahan mereka, berjalan menuju takdir yang tidak mereka pahami.
Perjalanan yang Mematikan
Rombongan dari Jerman, dipimpin oleh Nicholas, melintasi Pegunungan Alpen, tanah berbatu, curam, dan dingin yang membunuh banyak dari mereka. Kelelahan, kelaparan, dan penyakit merenggut nyawa mereka satu per satu. Beberapa anak tersesat, jatuh ke jurang, atau mati beku dalam pelukan saudara mereka.
Di Prancis, Stephen dan pengikutnya berbaris menuju pesisir laut, berharap melihat keajaiban. Namun, keajaiban tidak pernah datang. Laut tetap tak bergeming.
![]() |
Perang Salib Anak-Anak. |
Pengkhianatan di Pelabuhan
Di Marseille, dua saudagar kapal yang menjanjikan tumpangan gratis ke Yerusalem menawarkan kapal mereka kepada anak-anak ini. Namanya Hugo Ferreus dan William Porcus, bukan penyelamat, melainkan pedagang budak yang haus keuntungan.
Begitu kapal berlayar, mimpi berubah menjadi kengerian. Dua kapal karam di tengah badai, menelan ratusan jiwa ke dasar laut. Lima kapal lainnya mencapai pelabuhan di Afrika Utara, di mana anak-anak itu dijual sebagai budak di pasar-pasar Alexandria dan Tunisia.
Tidak ada Yerusalem. Tidak ada kemenangan. Hanya perbudakan dan penderitaan.
Akhir yang Sunyi dan Pahit
Sebagian dari mereka diambil oleh Sultan Mesir dan dipekerjakan sebagai budak. Sebagian mati dalam kelelahan dan kelaparan. Sisanya lenyap dalam sejarah, terlupakan.
Tak satu pun dari mereka yang pernah kembali ke rumah. Tak satu pun yang mengubah nasib Yerusalem.
Hanya suara isak tangis para orang tua di Eropa yang bertanya-tanya, ke mana anak-anak kami pergi?
Epilog: Kebenaran atau Mitos?
Para sejarawan modern masih memperdebatkan kebenaran kisah ini. Tidak ada bukti pasti bahwa ribuan anak benar-benar ikut serta.
Namun, apakah itu legenda atau kenyataan, Perang Salib Anak-Anak tetap menjadi simbol tragis dari harapan yang dipermainkan, iman yang disesatkan, dan kepolosan yang dikorbankan di altar kekuasaan dan kebrutalan zaman.