Hiroshima, 6 Agustus 1945: Pagi yang Mengubah Dunia

Sebuah kota yang kehilangan hampir seluruh penduduknya dalam sekejap mata.
Penulis: - 01 Maret 2025
Hiroshima, 6 Agustus 1945: Pagi yang Mengubah Dunia

Langit Hiroshima begitu cerah pagi itu, 6 Agustus 1945. Kota yang masih terlelap dalam rutinitasnya seolah tak menyadari bahwa maut sedang mengintai dari ketinggian.

Tepat pukul 08:00 waktu setempat, sebuah pesawat pembom B-29 milik Angkatan Udara Amerika Serikat, Enola Gay, melayang tinggi di atas kota. Di dalamnya, Kolonel Paul Tibbets, sang pilot, bersama kopilotnya Robert Lewis, serta para awak lainnya, bersiap menjalankan misi yang akan mengubah jalannya sejarah.

Mereka membawa sesuatu yang belum pernah digunakan sebelumnya dalam pertempuran: bom atom, senjata pemusnah massal yang dirancang untuk menamatkan Perang Dunia II dengan satu pukulan telak. Dengan berat 4.000 kilogram, bom yang diberi nama "Little Boy" itu tergantung di dalam pesawat, siap untuk dijatuhkan ke sasaran.

Di bawah sana, warga Hiroshima menjalani hari mereka seperti biasa. Anak-anak berangkat ke sekolah, pekerja menuju pabrik, dan pedagang membuka toko mereka. Tak ada yang tahu bahwa dalam hitungan menit, kehidupan mereka akan berubah selamanya.

Dentang Jam Kematian

Beberapa saat sebelum pukul 08:15, suara di dalam kokpit Enola Gay dipenuhi hitungan mundur. "Tiga... dua... satu..."

Lalu, palka bom terbuka.

Sebuah benda silindris raksasa meluncur turun, melayang bebas melewati awan, menuju pusat kota Hiroshima. Beberapa orang di bawah melihat benda aneh itu jatuh, tapi sebelum sempat memahami apa yang terjadi. Ledakan dahsyat mengguncang dunia.

Seketika langit Hiroshima dipenuhi cahaya menyilaukan, lebih terang dari matahari. Suhu di titik nol ledakan mencapai jutaan derajat Celsius dalam sepersekian detik, cukup untuk menguapkan manusia yang berada di dekat pusat ledakan.

Gelombang kejut dahsyat menyapu seluruh kota, meratakan bangunan, menghancurkan jembatan, dan melemparkan kendaraan seperti mainan. Api menjalar ke segala arah, membakar kayu, kertas, dan tubuh manusia. Dalam sekejap, Hiroshima berubah menjadi neraka di bumi.

Awan Jamur dan Keheningan yang Mencekam

Di atas sana, awak Enola Gay menyaksikan pemandangan mengerikan. Sebuah awan jamur raksasa membubung tinggi, mengembang seperti monster yang menelan kota di bawahnya. Paul Tibbets memutar pesawat untuk melihat lebih jelas, dan yang terlihat hanyalah kehancuran total. Hiroshima telah menghilang dalam kabut kematian.

Suasana di dalam pesawat mendadak sunyi. Tidak ada sorakan kemenangan, tidak ada ucapan selamat. Hanya keheningan yang penuh ketakutan.

"Lihat itu! Lihat itu! Lihat itu...!" seru Robert Lewis, matanya membelalak tak percaya.

Tangan Lewis bergetar saat ia menepuk bahu Tibbets. Mereka baru saja menyaksikan akhir dari sebuah kota.

Kota yang hancur akibat bom atom.

Korban yang Tak Terselamatkan

Di bawah sana, orang-orang yang selamat dari gelombang pertama ledakan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan. Ribuan tubuh hangus bergelimpangan di jalanan. Mereka yang masih hidup berjalan tanpa arah, kulit mereka meleleh dari tubuh, daging mereka menghitam, mata mereka kosong.

Banyak yang merangkak ke sungai, mencoba mendinginkan tubuh mereka yang terbakar, tapi justru tenggelam karena kelemahan. Tangisan, rintihan, dan jeritan memenuhi udara,suara dari dunia yang sekarat.

Di rumah sakit yang masih berdiri, dokter dan perawat kehabisan tenaga. Mereka kewalahan menghadapi ribuan pasien dengan luka bakar parah, luka yang bahkan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Persediaan obat habis dalam hitungan jam.

Dan yang lebih mengerikan lagi, kematian tidak berhenti di hari itu saja. Radiasi dari ledakan mulai bekerja diam-diam, menggerogoti tubuh para korban yang tampaknya selamat. Dalam beberapa hari, mereka mulai muntah darah, kulit mereka melepuh lebih parah, organ mereka gagal satu per satu.

Pada akhirnya, sekitar 166.000 jiwa melayang dalam beberapa minggu setelah ledakan. Hiroshima telah menjadi kuburan massal, sebuah kota yang kehilangan hampir seluruh penduduknya dalam sekejap mata.

Penyesalan yang Datang Terlambat

Di dalam Enola Gay, Robert Lewis membuka buku catatannya. Tangannya gemetar saat ia menulis satu kalimat yang akan dikenang dalam sejarah:

"Tuhan, apa yang telah kami lakukan?"

Namun, tidak ada waktu untuk jawaban. Pesawat terus melaju, menjauh dari neraka yang baru saja mereka ciptakan. Di Washington, para pemimpin dunia menerima laporan keberhasilan misi ini dengan dingin. Mereka tahu satu hal: perang akan segera berakhir, tapi dengan harga yang tak terbayangkan.

Tiga hari kemudian, bom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Dan pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat. Perang Dunia II pun berakhir, tapi luka yang ditinggalkannya tak akan pernah hilang.

Kenangan yang Tak Terhapus

Hari ini, di Hiroshima, sebuah monumen berdiri dengan satu pesan sederhana:

"Istirahatlah dalam damai. Kesalahan ini tidak akan terulang lagi."

Namun, dunia terus dihantui oleh pertanyaan: Apakah benar kesalahan ini tidak akan terulang?