Pada pergantian abad ke-20, kerajaan-kerajaan besar di Eropa diperintah oleh pria-pria yang lahir dari satu garis keturunan yang sama, yaitu cucu-cucu Ratu Victoria, yang dijuluki "Nenek Eropa."
Mereka tumbuh bersama dalam kemewahan istana, menghadiri perayaan keluarga yang megah, dan menulis surat satu sama lain dengan panggilan akrab seperti "Willy," "Nicky," dan "Georgie."
Namun, dalam waktu yang singkat, persaudaraan itu berubah menjadi permusuhan berdarah ketika Perang Dunia I meletus.
Masa Muda Para Pewaris Takhta
Ratu Victoria, yang meninggal pada tahun 1901, telah berhasil menikahkan anak-anaknya ke berbagai keluarga kerajaan di Eropa, menciptakan jaringan politik yang erat.
Tiga cucunya yang paling berpengaruh di antaranya adalah Kaiser Wilhelm II dari Jerman, Tsar Nicholas II dari Rusia, dan Raja George V dari Inggris, mereka memimpin kekaisaran masing-masing di awal abad ke-20.
Wilhelm II, putra dari Putri Vicky (anak sulung Ratu Victoria), menjadi Kaisar Jerman yang ambisius dan mudah tersinggung. Ia memiliki hubungan yang kompleks dengan sepupunya, Nicholas II, Tsar Rusia yang lembut namun sering ragu dalam mengambil keputusan.
Sementara itu, George V, yang wajahnya sangat mirip dengan Nicholas, memimpin Inggris dengan sikap konservatif dan kesetiaan terhadap negaranya.
Meskipun mereka berbagi darah yang sama, perbedaan ideologi, ambisi nasional, dan ketegangan politik mulai merusak hubungan mereka. Wilhelm, yang merasa Jerman harus memiliki tempat utama di panggung dunia, menganggap Inggris dan Rusia sebagai pesaing berbahaya.
Nicholas, yang terhimpit oleh masalah dalam negerinya, melihat Jerman sebagai ancaman terhadap stabilitas Rusia. Sementara George berusaha menjaga keseimbangan kekuatan, tetapi pada akhirnya, kepentingan Inggris mengharuskannya melawan Jerman.
Dari Surat-Surat Persahabatan ke Perang yang Tak Terhindarkan
Sebelum perang pecah, mereka masih saling mengirim surat. Nicholas dan Wilhelm sering berkorespondensi, dengan Nicholas memanggil Wilhelm sebagai "Kawan Tercinta" dan Wilhelm menyebut Nicholas sebagai "Sepupu Terkasih."
Namun, saat ketegangan di Balkan meningkat setelah pembunuhan Archduke Franz Ferdinand pada tahun 1914, surat-surat itu berubah nada dari rayuan diplomatik menjadi peringatan yang dingin.
Saat Rusia mulai memobilisasi pasukannya untuk mendukung Serbia, Wilhelm merasa dikhianati. Ia melihat tindakan Nicholas sebagai ancaman langsung terhadap Jerman dan memutuskan untuk bertindak lebih dulu.
Ketika Jerman menyatakan perang terhadap Rusia pada Agustus 1914, hubungan saudara ini benar-benar terputus. George, yang awalnya berharap bisa menjadi penengah, akhirnya tidak punya pilihan selain mendeklarasikan perang terhadap Jerman setelah pasukan Wilhelm menyerbu Belgia.
Dunia yang pernah menjadi taman bermain para pangeran kini berubah menjadi medan perang. Sepupu-sepupu ini, yang dulu berbagi masa kecil, kini memerintahkan jutaan tentara untuk saling membunuh.
Perpecahan Keluarga yang Tak Terpulihkan
Perang Dunia I tidak hanya menghancurkan Eropa, tetapi juga menghancurkan hubungan keluarga ini selamanya. Nicholas II, yang terjebak dalam perang dan revolusi, akhirnya digulingkan dan dieksekusi bersama keluarganya oleh kaum Bolshevik pada tahun 1918.
George V, meskipun terguncang oleh nasib sepupunya, menolak memberi suaka kepada Nicholas karena tekanan politik di Inggris. Wilhelm II, setelah kekalahannya dalam perang, dipaksa turun takhta dan menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan di Belanda.
Ketika debu perang mereda, hanya George V yang tetap di singgasananya, menyaksikan dunia yang telah berubah selamanya. Kerajaan yang dulu diperintah oleh cucu-cucu Ratu Victoria kini runtuh atau melemah, dan persaudaraan yang dulu mengikat mereka telah digantikan oleh luka yang tak tersembuhkan.
Dari Kerajaan ke Sejarah
Kisah tiga sepupu ini adalah tragedi sejati sejarah. Mereka dilahirkan dalam kekayaan, dibesarkan dengan rasa saling menghormati, namun pada akhirnya, mereka terjebak dalam pusaran ambisi, politik, dan kehancuran yang mereka sendiri tak bisa kendalikan.
Perang Dunia I tidak hanya menandai berakhirnya era kekaisaran lama, tetapi juga mengingatkan dunia bahwa bahkan hubungan darah pun bisa hancur dalam kobaran perang.
Di akhir hidupnya, Wilhelm II pernah berkata dengan getir, "Jika nenek masih hidup, perang ini tak akan pernah terjadi." Namun, sejarah telah mencatat sebaliknya, bahwa bahkan garis keturunan kerajaan pun tidak bisa menghentikan roda takdir yang membawa dunia ke dalam kehancuran.