Malam itu, 23 Maret 1946, langit di atas Bandung bukan sekadar gelap oleh malam, tetapi juga oleh kepulan asap hitam yang membubung tinggi. Api menyala di setiap sudut kota, menjilat rumah-rumah, toko-toko, hingga gedung-gedung pemerintahan.
Nyala merah yang menyala-nyala bukan sekadar api biasa, melainkan kobaran semangat rakyat yang menolak tunduk pada penjajah. Inilah kisah tentang keberanian luar biasa, tentang pengorbanan, dan tentang tekad yang lebih kuat dari rasa takut, kisah Bandung Lautan Api.
Kesepakatan yang Menghancurkan Harapan
Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda yang bersekutu dengan Inggris berusaha kembali menguasai Nusantara. Bandung, kota strategis di Jawa Barat, menjadi salah satu medan pertempuran yang sengit.
Tentara Sekutu, yang saat itu diwakili Inggris, menuntut agar Tentara Republik Indonesia (TRI) dan penduduk sipil meninggalkan Bandung. Mereka beralasan bahwa kota ini harus dikosongkan demi menghindari bentrokan dan korban lebih lanjut. Kesepakatan itu bagai palu godam yang menghantam harga diri rakyat Bandung, kota mereka harus diserahkan kepada Belanda!
Namun, bagi rakyat Bandung, menyerahkan kota kepada musuh bukanlah pilihan. Mereka lebih memilih melihat Bandung hancur dalam kobaran api ketimbang harus menyerah kepada penjajah. Dengan satu tekad bulat, mereka merancang sebuah keputusan besar, membakar kota sendiri.
Membakar Kota, Membakar Semangat Perlawanan
Keputusan itu bukan sekadar aksi nekat, melainkan strategi perang yang cermat. Jika Bandung ditinggalkan dalam keadaan utuh, Belanda akan dengan mudah menjadikannya sebagai markas besar untuk melancarkan serangan ke wilayah lain di Indonesia. Oleh karena itu, pejuang-pejuang republik bersama warga Bandung memutuskan untuk membumihanguskan kota mereka sendiri.
Maka, dalam gelapnya malam 23 Maret 1946, dengan hati yang berat tetapi semangat yang berkobar, rakyat mulai membakar rumah mereka, toko mereka, gedung-gedung mereka. Satu per satu, api mulai menjalar, menjilat setiap bangunan yang terkena percikan minyak dan api. Asap pekat membumbung tinggi, menyelimuti langit Bandung dengan warna kelabu.
Di jalanan, orang-orang berlarian, ada yang membawa barang-barang berharga terakhir yang bisa mereka selamatkan, ada yang hanya berdiri memandang rumah mereka terbakar dengan mata yang penuh air mata, namun bukan air mata ketakutan, melainkan air mata pengorbanan.
![]() |
Kota Bandung terbakar hebat. |
Di sudut-sudut kota, para pejuang berusaha memperlambat pergerakan pasukan musuh dengan serangan-serangan gerilya. Mereka yang bertahan hingga detik terakhir berperang dengan gagah berani, melepaskan tembakan terakhir sebelum akhirnya ikut mundur ke selatan.
Sementara itu, dari kejauhan, ribuan rakyat Bandung yang telah mengungsi ke luar kota menyaksikan kota mereka berubah menjadi lautan api. Satu kota terbakar dalam semalam, bukan karena amarah, bukan karena keputusasaan, tetapi karena tekad yang tak bisa dipadamkan.
Pagi yang Kelam, Semangat yang Tak Pernah Padam
Keesokan harinya, ketika matahari perlahan terbit, yang tersisa dari Bandung hanyalah puing-puing dan abu yang masih mengepul. Kota yang dahulu megah dan hidup, kini sunyi dalam kehancuran. Tetapi, di balik kehancuran itu, tersimpan pesan yang jauh lebih kuat dari bangunan yang runtuh: Bandung boleh hancur, tetapi semangat perjuangan rakyatnya akan terus menyala!
Kisah Bandung Lautan Api menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan. Peristiwa ini bukan hanya sekadar peristiwa sejarah, tetapi juga sebuah warisan perjuangan yang mengajarkan tentang keberanian, pengorbanan, dan arti dari kemerdekaan yang sesungguhnya.
Bandung telah menjadi lautan api, tetapi dari abu yang tersisa, lahirlah semangat yang tak pernah padam.