William Sang Penakluk (William the Conqueror), raja Norman pertama yang menguasai Inggris, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Eropa. Namun, meskipun sepanjang hidupnya dikenal sebagai pemimpin yang kuat dan penakluk ulung, akhir hayatnya justru diwarnai dengan tragedi memilukan. Pemakamannya bukan hanya berlangsung kacau, tetapi juga diingat sebagai salah satu yang paling mengerikan dalam sejarah.
Kematian William: Dari Medan Perang ke Tempat Peristirahatan Terakhir
William meninggal pada 9 September 1087 di Rouen, Normandia, akibat luka parah yang dideritanya setelah jatuh dari kudanya saat menyerang kota Mantes (kini bagian dari Prancis). Jatuhnya sang raja menyebabkan cedera internal yang fatal, terutama di bagian perutnya. Setelah berhari-hari dalam penderitaan, ia akhirnya wafat pada usia sekitar 59 tahun.
Namun, setelah kematiannya, para bangsawan dan pengikutnya lebih sibuk mengamankan harta warisan serta kekuasaannya daripada mengurus jenazahnya. Banyak prajurit dan pembantu setianya meninggalkannya begitu saja, meninggalkan tubuh sang raja dalam keadaan tak terurus selama beberapa waktu.
Perjalanan Jasad William ke Biara Saint-Étienne
Setelah beberapa waktu, akhirnya diputuskan bahwa William akan dimakamkan di Biara Saint-Étienne di Caen, Normandia—sebuah gereja besar yang ia dirikan sendiri. Namun, perjalanan menuju tempat pemakaman tidak berjalan mulus.
Karena tubuhnya sudah mulai membusuk, diperlukan perjalanan panjang dengan kondisi yang tidak ideal. Saat itu, tidak ada sistem pendinginan seperti sekarang, sehingga jasad William membengkak akibat gas pembusukan. Semakin lama perjalanan berlangsung, semakin buruk kondisi tubuhnya.
Ketika akhirnya tiba di biara, William seharusnya mendapatkan upacara pemakaman yang megah. Namun, serangkaian insiden memalukan justru membuat prosesi tersebut menjadi mimpi buruk.
Insiden Kacau Selama Pemakaman
1. Sengketa Tanah di Tengah Prosesi
Saat upacara pemakaman sedang berlangsung, seorang pria bernama Asselin FitzArthur tiba-tiba menghentikan prosesi dan menuntut agar pemakaman tidak dilanjutkan. Ia mengklaim bahwa tanah tempat biara berdiri sebenarnya adalah miliknya yang telah dirampas secara tidak sah oleh William bertahun-tahun sebelumnya.
Para pejabat gereja dan bangsawan yang hadir terpaksa berunding dengan Asselin untuk menyelesaikan masalah ini. Akhirnya, sebagai ganti rugi, mereka membayar kompensasi kepada Asselin agar pemakaman bisa diteruskan.
2. Peti Mati yang Terlalu Kecil dan Ledakan Jasad
Setelah sengketa tanah terselesaikan, prosesi penguburan dilanjutkan. Namun, ada satu masalah besar: peti mati yang disiapkan ternyata terlalu kecil untuk menampung tubuh William.
Saat para biarawan dan pengurus jenazah berusaha menjejalkan jasadnya ke dalam peti, perut William—yang sudah membusuk dan penuh gas—meledak akibat tekanan. Bau busuk yang luar biasa langsung memenuhi ruangan, membuat banyak pelayat yang hadir muntah dan meninggalkan lokasi pemakaman.
Situasi menjadi begitu menjijikkan hingga para imam yang bertugas melakukan upacara pemakaman pun tidak tahan dan memutuskan untuk mempercepat prosesi. Akhirnya, tanpa banyak seremoni, jasad William dikuburkan begitu saja di dalam tanah.
Nasib Makam William Sang Penakluk
Meski akhirnya dimakamkan di Biara Saint-Étienne, makam William tidak bertahan utuh dalam sejarah. Pada abad ke-16, selama perang agama di Prancis, makamnya dihancurkan oleh kaum Huguenot (Protestan). Tulang-belulangnya tersebar dan hanya sebagian kecil yang tersisa di biara tersebut.
Hari ini, di lokasi pemakamannya hanya tersisa sebuah nisan sederhana, yang menandai tempat peristirahatan terakhir raja yang pernah mengguncang Eropa.
Kesimpulan: Sebuah Akhir yang Tak Terduga
Kisah pemakaman William Sang Penakluk adalah pengingat bahwa bahkan seorang penguasa besar pun tidak bisa mengendalikan nasibnya setelah kematian. Dari perut yang meledak hingga sengketa tanah di tengah prosesi, tragedi ini menjadi salah satu pemakaman paling aneh dan mengenaskan dalam sejarah Eropa.
William mungkin telah menaklukkan Inggris dan mengubah sejarah, tetapi ironisnya, ia tidak dapat menaklukkan kematiannya sendiri.