Prajurit Terakhir yang Gugur Pada Perang Dunia Pertama

Henry Gunther secara resmi tercatat sebagai prajurit terakhir yang gugur dalam Perang Dunia 1.
Penulis: - 22 Februari 2025
Prajurit Terakhir yang Gugur Pada Perang Dunia Pertama

Pada pagi yang dingin dan berkabut tanggal 11 November 1918, Perang Dunia 1 mendekati akhirnya. Di hutan dekat Sungai Meuse, Prancis, suara tembakan masih terdengar meskipun kabar tentang gencatan senjata telah tersebar.

Perang yang telah berlangsung selama lebih dari empat tahun akhirnya disepakati akan berakhir tepat pada pukul 11.00 pagi, tanggal 11, dan bulan 11 (November) 1918. Namun, bagi beberapa prajurit di garis depan, kedamaian masih terasa seperti ilusi yang jauh.

Di antara mereka adalah Henry Gunther, seorang prajurit Amerika Serikat berpangkat sersan, yang tidak menyadari bahwa dirinya akan menjadi prajurit terakhir yang gugur dalam perang besar ini.

Keinginan Menebus Kehormatan

Henry Gunther adalah seorang keturunan Jerman-Amerika yang berasal dari Baltimore, Maryland. Sebelum perang, ia bekerja sebagai pegawai bank. Namun, surat-suratnya kepada seorang teman di kampung halaman, yang mengungkapkan betapa sulitnya kondisi di medan perang, membuatnya dicurigai oleh pihak militer dan pangkatnya diturunkan dari sersan menjadi prajurit biasa. Henry merasa terhina dan ingin membuktikan keberanian serta loyalitasnya kepada negaranya.

Tentara Inggris pada Perang Dunia I.

Ketika berita tentang gencatan senjata tersebar, sebagian besar tentara di garis depan mulai bersiap untuk berhenti bertempur. Namun, Gunther, yang tergabung dalam Divisi ke-79 Angkatan Darat AS, tampaknya masih bersemangat untuk bertempur hingga saat-saat terakhir.

Misi yang Sia-Sia

Pada pukul 10.59 pagi, hanya satu menit sebelum gencatan senjata berlaku, Gunther dan rekan-rekannya mendekati posisi Jerman di dekat kota Chaumont-devant-Damvillers. Tentara Jerman yang berada di parit telah mengetahui bahwa perang akan berakhir dalam hitungan detik, dan mereka tidak ingin lagi bertempur. Mereka melambai-lambaikan tangan dan meneriakkan bahwa perang sudah selesai.

Namun, Gunther tampaknya tidak peduli. Ia maju dengan senapannya terangkat, menerjang ke arah posisi Jerman seolah masih berada dalam pertempuran sengit. Tentara Jerman, yang kebingungan melihat serangan tunggal ini, mencoba memperingatkannya untuk berhenti. Tapi Gunther terus melaju.

Akhirnya, untuk melindungi posisi mereka, prajurit Jerman menembakkan beberapa peluru ke arahnya. Satu peluru mengenai Gunther di dada, dan ia terjatuh, sekarat. Beberapa detik kemudian, jam menunjukkan pukul 11.00. Perang berakhir.

Nisan makam Henry Gunther.

Sebuah Ironi Tragis

Henry Gunther secara resmi tercatat sebagai prajurit terakhir yang gugur dalam Perang Dunia 1. Ia meninggal tepat saat lonceng perdamaian mulai berdentang di seluruh Eropa. Tragedinya menjadi simbol dari betapa absurdnya peperangan: sebuah nyawa masih harus melayang meskipun perdamaian telah di depan mata.

Beberapa tahun kemudian, pemerintah Amerika Serikat mengembalikan pangkatnya dan menganugerahinya penghargaan anumerta atas jasa-jasanya. Kisahnya dikenang sebagai salah satu momen paling dramatis dalam sejarah perang, seorang prajurit yang meninggal bukan karena perang yang belum usai, tetapi karena ia merasa masih harus bertempur.

Perang Dunia 1 berakhir dengan kesunyian yang aneh. Tidak ada letusan meriam perayaan, hanya keheningan yang perlahan menggantikan suara tembakan terakhir. Namun, dalam keheningan itu, nama Henry Gunther tetap terukir sebagai simbol dari absurditas perang dan harga dari ambisi pribadi dalam kekacauan global.