Pieter Erberveld: Pengkhianatan, Hukuman Mati, dan Prasasti Peringatan

Penulis: - 08 Februari 2025
Pieter Erberveld: Pengkhianatan, Hukuman Mati, dan Prasasti Peringatan

Pieter Erberveld adalah seorang keturunan Indo-Jerman yang tinggal di Batavia pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ia berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan cukup baik di masyarakat, tetapi kehidupannya berubah drastis ketika ia berselisih dengan pemerintah kolonial Belanda.

Erberveld merasa kecewa terhadap kebijakan VOC yang dianggapnya tidak adil terhadap pribumi dan orang Indo. Hal ini memicu niatnya untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial pada awal abad ke-18.

Rencana Pemberontakan

Pada tahun 1721, Erberveld bersama seorang pemimpin pribumi bernama Raden Kartadria menyusun rencana pemberontakan melawan VOC di Batavia (sekarang Jakarta) saat VOC akan mengadakan pesta menyambut tahun baru pada malam hari. 

Mereka berusaha mengumpulkan pasukan dari kalangan pribumi dan orang Indo yang tidak puas dengan pemerintahan Belanda. Namun, sebelum rencana tersebut bisa dieksekusi, VOC mendapatkan informasi dari mata-mata dan segera bertindak untuk menggagalkan rencana pemberontakan.

Litografi tugu peringatan Pieter Erberveld, berdasarkan lukisan Josias Cornelis Rappard. Foto: commons.wikimedia.org

Penangkapan dan Hukuman Mati

Pieter Erberveld dan para pengikutnya ditangkap oleh otoritas VOC. Mereka diadili dan dinyatakan bersalah atas tuduhan makar. Pada tanggal 22 April 1722, Erberveld dijatuhi hukuman mati yang sangat kejam, yaitu kedua kaki dan tangannya masing-masing diikat pada empat ekor kuda yang kemudian ditarik secara bersamaan hingga tubuh Pieter Erberveld hancur terpotong-potong dan tercerai berai.

Lokasi tempat eksekusi itu sekarang berada di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta, dan kini dikenal dengan nama Kampung Pecah Kulit. Konon penamaan kampung ini karena ketika Pieter Erberveld dieksekusi, tubuhnya terpotong-potong dan kulitnya tercabik-cabik.

Hukuman yang diterimanya mencerminkan kebrutalan VOC dalam menghadapi pemberontakan. Erberveld dihukum dengan cara tubuhnya dipotong-potong, dan kepalanya dipajang di tempat eksekusi sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani melawan VOC. Beberapa pengikutnya juga mengalami nasib serupa, sementara yang lain dijadikan budak atau dibuang ke luar Batavia.

Prosesi hukuman mati dengan cara ditarik oleh empat kuda. Foto: botakstm.blogspot.com

Prasasti Peringatan Pieter Erberveld

Untuk mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan pemberontakan serupa, VOC mendirikan sebuah tugu prasasti di lokasi tempat Erberveld dihukum. Prasasti ini terbuat dari batu dengan tulisan dalam bahasa Belanda yang berbunyi:

"TIDAK SEORANG PUN, BAIK PRIBUMI MAUPUN KETURUNAN LAINNYA, DIIZINKAN TINGGAL ATAU MEMBANGUN DI TEMPAT INI UNTUK SELAMANYA."

Prasasti ini bertujuan menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat agar tidak ada lagi upaya pemberontakan terhadap VOC.

Prasasti Erberveld

Nasib Prasasti Erberveld

Tugu prasasti Pieter Erberveld bertahan selama bertahun-tahun hingga akhirnya dihancurkan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945). Saat ini, peninggalan sejarah mengenai kasus Pieter Erberveld masih bisa ditemukan dalam catatan sejarah dan beberapa literatur tentang Batavia pada masa VOC.

Pieter Erberveld adalah salah satu tokoh yang berusaha melawan ketidakadilan VOC di Batavia, meskipun usahanya gagal. Hukuman mati yang brutal serta pendirian prasasti peringatan mencerminkan kebijakan keras VOC dalam menekan perlawanan. Kisahnya menjadi bagian dari sejarah kolonialisme di Indonesia, mengingatkan kita akan dinamika perjuangan melawan penindasan pada masa lampau.