Nada dan Goresan Perlawanan: Seniman yang Dibungkam karena Kritik terhadap Penguasa

Seniman sering kali berada di garis depan dalam menyuarakan kritik sosial dan politik.
Penulis: - 25 Februari 2025
Nada dan Goresan Perlawanan: Seniman yang Dibungkam karena Kritik terhadap Penguasa

Di tengah gemuruh dunia musik Indonesia, sebuah band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, bernama Sukatani, mengguncang jagat maya dengan lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar".

Lagu ini secara tajam menyoroti praktik pungutan liar yang diduga melibatkan oknum kepolisian, menggambarkan pengalaman masyarakat dalam menghadapi birokrasi yang korup. Liriknya yang berani dan tanpa tedeng aling-aling segera menarik perhatian publik dan aparat penegak hukum.

Namun, sorotan tajam tersebut membawa konsekuensi berat bagi Sukatani. Setelah lagu tersebut viral, tekanan demi tekanan menghampiri mereka. Puncaknya, pada 20 Februari 2025, dua personel band ini, Ovi alias Twister Angel dan Al alias Alectroguy, dengan wajah penuh penyesalan, menyampaikan permintaan maaf kepada institusi Polri dan menarik lagu tersebut dari semua platform digital.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menanggapi dengan bijak, menyatakan bahwa Polri terbuka terhadap kritik dan tidak mempermasalahkan lirik lagu tersebut.

Kisah Sukatani bukanlah yang pertama dalam sejarah Indonesia. Pada era Orde Baru, musisi legendaris Iwan Fals pernah merasakan pahitnya berhadapan dengan rezim otoriter. Lagu-lagunya yang kritis terhadap pemerintah membuatnya menjadi target pengawasan ketat.

Pada tahun 1984, Iwan Fals ditangkap dan dipenjara karena lagu "Mbombardir Sri Lanka" yang dianggap mengkritik kebijakan pemerintah saat itu. Penangkapan ini menandai salah satu babak kelam dalam sejarah kebebasan berekspresi di Indonesia.

Selain Iwan Fals, seniman lain seperti Djoko Pekik juga mengalami tekanan serupa. Djoko Pekik, seorang pelukis ternama, pernah dipenjara karena tuduhan terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Karya-karyanya, seperti trilogi lukisan "Susu Raja Celeng" (1996), "Berburu Raja Celeng" (1998), dan "Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita" (2000), merupakan bentuk kritik tajam terhadap pemerintahan Orde Baru. Meskipun menghadapi berbagai tekanan, semangatnya untuk menyuarakan kebenaran melalui seni tak pernah pudar.

Lukisan Berburu Raja Celeng karya Djoko Pekik.

Memasuki era reformasi, harapan akan kebebasan berekspresi semakin menguat. Namun, bayang-bayang sensor dan represi masih menghantui. Pada Desember 2024, seniman Yos Suprapto menghadapi pembatalan pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia.

Pameran bertajuk "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" ini dibatalkan secara mendadak karena lima dari 30 lukisannya dianggap kontroversial dan tidak sesuai dengan tema acara. Karya-karya tersebut diduga mengandung kritik sosial yang sensitif, mencerminkan ketakutan negara terhadap seni yang menyuarakan kebenaran.

Peristiwa-peristiwa ini menggambarkan betapa seniman sering kali berada di garis depan dalam menyuarakan kritik sosial dan politik. Namun, keberanian mereka kerap dibalas dengan represi dan pembungkaman.

Meskipun demikian, semangat untuk menyuarakan kebenaran melalui seni terus menyala, menjadi pengingat bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang harus diperjuangkan bersama.