Gerakan Non-Blok (GNB) adalah sebuah aliansi politik yang lahir pada era Perang Dingin sebagai respons terhadap polarisasi dunia antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Dua pemimpin utama yang menjadi arsitek gerakan ini adalah Presiden Soekarno dari Indonesia dan Presiden Josip Broz Tito dari Yugoslavia.
Soekarno dan Josip Broz Tito
Soekarno, presiden pertama Indonesia, adalah seorang pemimpin yang visioner, karismatik, dan dikenal dengan gagasannya tentang Pancasila sebagai dasar negara. Ia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan memiliki pandangan bahwa Indonesia harus tetap mandiri dalam politik global, tidak memihak kepada kekuatan besar dunia.
Sementara itu, Josip Broz Tito adalah pemimpin Yugoslavia yang berhasil mengusir pendudukan Nazi selama Perang Dunia II dan membentuk Yugoslavia sebagai negara sosialis yang tidak tunduk pada pengaruh Uni Soviet. Ia dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan memiliki kekuatan militer yang solid dalam menjaga keutuhan negaranya.
Pertemuan Soekarno dan Tito di Kancah Non-Blok
Pada salah satu pertemuan negara-negara Gerakan Non-Blok yang diadakan di Yugoslavia pada tahun 1961, Soekarno dan Tito berdiskusi mengenai masa depan negara mereka setelah mereka tiada.
Dalam pertemuan itu, Soekarno bertanya kepada Tito, “Apa yang akan terjadi pada negaramu jika suatu saat engkau sudah tidak ada?”
Tito dengan yakin menjawab, “Aku tidak khawatir, karena aku memiliki tentara yang kuat yang akan menjaga dan melindungi rakyatku.”
Kemudian, Tito berbalik bertanya kepada Soekarno, “Lalu bagaimana dengan Indonesia, apa yang akan menjaganya di masa depan?”
Dengan penuh keyakinan, Soekarno menjawab, “Aku tidak khawatir, karena Indonesia memiliki Pancasila yang akan menyatukan rakyatnya.”
![]() |
Josip Broz Tito (kiri) dan Soekarno (kanan) sedang berbincang. |
Pandangan Sejarawan: Keberagaman dan Keberlanjutan Negara
Banyak sejarawan berpendapat bahwa secara struktural, Yugoslavia memiliki keuntungan dibandingkan Indonesia. Negara yang dipimpin Tito tidak memiliki keberagaman sebesar Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Dengan latar belakang yang lebih homogen dibandingkan Indonesia, sejarawan dulu berpikir bahwa Yugoslavia akan lebih stabil dalam jangka panjang.
Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Setelah Tito wafat pada tahun 1980, Yugoslavia mulai mengalami ketegangan etnis dan politik yang berujung pada perpecahan dan perang saudara pada dekade 1990-an.
Negara yang dulu kuat dan bersatu akhirnya terpecah menjadi beberapa negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Slovenia, Makedonia Utara, dan Montenegro.
Di sisi lain, meskipun Indonesia memiliki keberagaman yang jauh lebih besar, hingga kini tetap bertahan sebagai negara yang utuh. Para sejarawan kini menyadari bahwa faktor utama yang menjaga persatuan Indonesia adalah Pancasila, yang telah menjadi landasan ideologi dan pemersatu bangsa sejak kemerdekaan.
Nilai-nilai seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial telah menjadi perekat yang kokoh dalam menjaga keutuhan Indonesia.
Kesimpulan
Percakapan antara Soekarno dan Tito memberikan gambaran bahwa kekuatan fisik dan militer saja tidak cukup untuk menjaga keutuhan suatu negara. Keberlanjutan sebuah bangsa bergantung pada fondasi ideologis dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyatnya. Yugoslavia, yang dulu dianggap lebih stabil, justru runtuh lebih cepat dibandingkan Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia yang penuh keberagaman tetap teguh berdiri karena memiliki Pancasila sebagai landasan pemersatu bangsa. Dengan demikian, sejarah membuktikan bahwa keyakinan Soekarno terhadap Pancasila sebagai perekat bangsa Indonesia bukan sekadar retorika, melainkan realitas yang terbukti hingga saat ini.