Artikel ini tidak bertujuan untuk mengejek salah satu atau kedua suku, maupun membangkitkan kebencian di antara keduanya. Tulisan ini dibuat semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pemahaman sejarah budaya masyarakat Sulawesi Selatan.
Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah yang kaya akan budaya dan tradisi. Dua kelompok etnis utama di wilayah ini, yaitu Bugis dan Makassar, memiliki hubungan yang kompleks, baik dalam kerja sama maupun persaingan yang terjadi sepanjang sejarah. Salah satu bentuk interaksi yang sering muncul di antara mereka adalah saling melempar ejekan atau sindiran, seperti istilah Bugisi Lappo dan Mangkasara Bu’bukang.
Istilah ini cukup populer pada tahun 1960-an hingga 1970-an dan sering digunakan oleh kedua belah pihak dalam konteks candaan atau bahkan sebagai bentuk persaingan sosial. Namun, istilah tersebut sebenarnya memiliki akar sejarah yang jauh lebih dalam, yaitu dari praktik pemakaman di masa pra-Islam sebelum ajaran Islam menyebar luas di Sulawesi Selatan.
Asal Usul Istilah "Bugisi Lappo"
Dalam tradisi masyarakat Bugis sebelum masuknya Islam, praktik pemakaman dilakukan dengan cara kremasi atau pembakaran jenazah. Proses ini tidak selalu berjalan mulus, karena terkadang terjadi ledakan kecil dari dalam api kremasi. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tekanan gas dari tubuh yang terbakar atau reaksi bahan-bahan yang digunakan dalam prosesi.
Dari fenomena ini, lahirlah istilah Bugisi Lappo, yang secara harfiah berarti “Orang Bugis yang Meletus.” Istilah ini kemudian berkembang menjadi ejekan yang digunakan oleh orang Makassar terhadap orang Bugis, menyindir praktik kremasi mereka yang terkadang menghasilkan suara ledakan.
![]() |
Prosesi Kremasi. |
Asal Usul Istilah "Mangkasara Bu’bukang"
Sementara itu, masyarakat Makassar di masa pra-Islam memiliki tradisi pemakaman yang berbeda. Alih-alih dikremasi, jenazah biasanya disimpan dalam peti atau katafalk yang ditempatkan di dalam rumah atau bangunan tertentu selama jangka waktu yang cukup lama. Seiring waktu, jenazah yang tidak segera dikuburkan akan mengalami proses alami berupa pelapukan atau pembusukan.
Dari praktik inilah muncul istilah Mangkasara Bu’bukang, yang berarti “Orang Makassar yang Lapuk.” Ejekan ini digunakan oleh orang Bugis untuk menyindir cara pemakaman orang Makassar yang membiarkan jasad mengalami pembusukan sebelum akhirnya dikuburkan atau dipindahkan ke tempat peristirahatan terakhir.
Perkembangan dan Penggunaan Istilah
Pada dekade 1960-an hingga 1970-an, istilah Bugisi Lappo dan Mangkasara Bu’bukang masih sering terdengar dalam interaksi sosial antara orang Bugis dan Makassar, terutama dalam situasi kompetitif atau bercanda. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya pemahaman akan pentingnya menjaga harmoni antarsuku, penggunaan istilah ini mulai berkurang.
Di era modern, masyarakat Bugis dan Makassar lebih menonjolkan persatuan dan kerja sama dalam berbagai bidang, baik dalam ekonomi, politik, maupun budaya. Istilah ejekan ini pun kini lebih dipahami sebagai bagian dari sejarah budaya yang mencerminkan kekayaan tradisi dan perbedaan cara pandang di masa lalu.
Istilah Bugisi Lappo dan Mangkasara Bu’bukang lahir dari perbedaan tradisi pemakaman masyarakat Bugis dan Makassar pada masa pra-Islam. Meskipun dulunya digunakan sebagai bentuk ejekan, pemahaman sejarah di balik istilah ini menunjukkan bahwa praktik budaya masing-masing suku memiliki makna dan latar belakang tersendiri yang tidak bisa dipandang hanya dari sisi negatif.
Sebagai bagian dari masyarakat modern, pemahaman terhadap sejarah seperti ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk lebih menghargai perbedaan dan mempererat hubungan antarbudaya di Sulawesi Selatan.